Misteri Memelototi Kertas Mati: Mengapa Manusia Masih Membaca?

Di zaman di mana informasi bisa melesat lebih cepat dari gosip tetangga dan hiburan hanya sejauh satu gesekan jempol di layar TikTok, ada satu kegiatan purba yang menolak untuk punah. Kegiatan itu adalah membaca: sebuah ritual di mana seorang manusia secara sukarela duduk diam, mengabaikan dunia nyata, dan menatap sekumpulan kertas mati yang diberi noda tinta selama berjam-jam. Bagi sebagian orang, ini adalah pemandangan yang membingungkan. Mengapa memilih teks yang sunyi ketika ada video kucing bermain piano? Mengapa repot-repot berimajinasi ketika Netflix sudah menyediakan visualnya dalam resolusi 4K?

Jika dalam tulisan sebelumnya kita sudah sepakat bahwa penulis adalah spesies aneh yang mengemas kegilaan mereka ke dalam untaian kata, maka pembaca adalah spesies yang lebih aneh lagi. Mereka adalah konsumen sukarela dari kegilaan tersebut. Mereka dengan sengaja membuka botol berisi pikiran, kecemasan, dan khayalan orang lain, lalu menenggaknya sampai tuntas. Apa yang mendorong mereka melakukan hal ini? Apakah ini bentuk masokisme intelektual? Atau ada alasan lain yang lebih dalam?

Sebagai duta tidak resmi kaum penikmat kertas bernoda, izinkan saya membeberkan alasan-alasan di balik hobi ajaib ini.

 

1. Jasa Teleportasi Paling Murah di Muka Bumi

Mari kita jujur, liburan itu mahal dan merepotkan. Anda harus mengurus tiket, berkemas, berdesakan di bandara, dan menghadapi kemungkinan duduk di sebelah bayi yang sedang menguji volume paru-parunya. Membaca menawarkan solusi yang jauh lebih elegan dan ramah kantong. Sebuah buku adalah mesin teleportasi pribadi yang ongkosnya lebih murah dari secangkir kopi kekinian.

Dengan hanya membuka halaman pertama, Anda bisa langsung berpindah dari kamar kos Anda yang sumpek ke sekolah sihir Hogwarts, menyusuri jalanan Middle-earth bersama para Hobbit, atau bahkan mendarat di planet asing yang dihuni makhluk berkaki tiga. Anda tidak perlu paspor, tidak perlu visa, dan yang terpenting, Anda bisa melakukan perjalanan lintas galaksi ini hanya dengan memakai piyama dan ditemani sebungkus mi instan. Satu-satunya efek samping dari “perjalanan” ini paling-paling hanya mata yang lelah dan perasaan hampa setelah buku tamat, sebuah kondisi yang jauh lebih ringan daripada jet lag atau tagihan kartu kredit pasca-liburan.

 

2. Menjadi Detektif, Mata-mata, dan Penggosip Profesional (Secara Legal)

Manusia adalah makhluk yang pada dasarnya kepo. Kita ingin tahu urusan orang lain, memahami pikiran mereka, dan mengungkap rahasia mereka. Sayangnya, di dunia nyata, kegiatan semacam ini bisa berujung pada laporan ke pihak berwajib atau setidaknya cap “tukang gosip”. Nah, buku menyediakan arena yang aman untuk menyalurkan hasrat kepo ini.

Saat membaca, Anda bisa masuk ke dalam kepala seorang detektif yang sedang memecahkan kasus pembunuhan, menjadi mata-mata yang menyusup ke markas musuh, atau sekadar mendengarkan drama percintaan dan perselingkuhan para bangsawan di abad ke-18. Anda mendapatkan akses VIP ke pikiran, ketakutan, dan harapan terdalam para karakternya. Anda bisa mengetahui semua rahasia mereka tanpa risiko dituduh melanggar privasi. Ini adalah bentuk spionase paling intelektual. Anda tidak sedang menguping, Anda sedang melakukan “analisis karakter”. Anda tidak sedang bergosip, Anda sedang mendalami “konflik naratif”. Cerdas, bukan?

 

3. Gym untuk Melatih Otot Empati

Di tengah kesibukan sehari-hari, kadang kita lupa caranya memahami perasaan orang lain. Dunia sering kali terasa hanya berputar di sekitar masalah kita sendiri. Membaca adalah cara terbaik untuk melatih kembali “otot” empati yang mulai kaku. Buku memaksa kita untuk berjalan menggunakan sepatu orang lain—entah itu sepatu bot seorang prajurit, sepatu kaca seorang putri, atau bahkan tanpa sepatu sama sekali seperti seorang pengungsi.

Anda akan merasakan jantung berdebar saat karakter favorit Anda dalam bahaya, ikut tersipu malu saat mereka jatuh cinta, dan mungkin meneteskan air mata saat mereka mengalami tragedi. Anda akan marah pada tokoh antagonis yang kejam dan bersorak untuk pahlawan yang tertindas. Ini adalah simulator kehidupan. Anda bisa mengalami ribuan kehidupan yang berbeda, merasakan ribuan emosi yang berbeda, dan memahami sudut pandang yang tidak pernah Anda bayangkan sebelumnya. Hasilnya? Hati Anda jadi sedikit lebih terlatih untuk tidak langsung menghakimi kasir minimarket yang cemberut, karena siapa tahu dia sedang memikirkan plot twist di novel yang sedang dibacanya.

 

4. Mengumpulkan Amunisi untuk Obrolan Basa-Basi

Pernahkah Anda terjebak dalam situasi sosial yang canggung, di mana satu-satunya topik yang muncul adalah cuaca? Membaca adalah solusinya. Setiap buku yang Anda baca adalah gudang amunisi baru untuk percakapan. Anda tidak hanya tahu soal hujan atau panas, Anda juga tahu tentang sejarah penemuan plastik, psikologi di balik warna, atau bahkan cara bertahan hidup dari serangan zombie (setidaknya secara teori).

Membaca memberi Anda koleksi fakta-fakta acak dan cerita-cerita menarik yang bisa dilontarkan kapan saja untuk memecah keheningan. Tentu, ada risiko Anda akan dianggap aneh karena tiba-tiba membahas ritual pemakaman bangsa Viking di tengah pesta pernikahan. Tapi, aneh sering kali lebih baik daripada membosankan. Membaca mengubah Anda dari orang yang hanya bisa menjawab “baik” saat ditanya kabar, menjadi orang yang bisa menjawab, “Baik, saya baru saja selesai membaca tentang bagaimana cumi-cumi raksasa berkomunikasi, dan itu membuat saya berpikir tentang…”

 

Kesimpulan: Pemberontakan Sunyi Melawan Dunia yang Berisik

Jadi, mengapa membaca? Karena membaca adalah sebuah pemberontakan kecil. Di dunia yang menuntut kita untuk bergerak cepat, merespons instan, dan terus-menerus terhubung, membaca adalah sebuah tindakan revolusioner. Ini adalah cara kita untuk menekan tombol jeda. Ini adalah izin yang kita berikan pada diri sendiri untuk diam, untuk melambat, dan untuk tersesat di dunia lain tanpa notifikasi apa pun.

Penulis mungkin yang menciptakan portalnya, tetapi pembacalah yang punya keberanian untuk melompat masuk. Membaca adalah cara termurah untuk bepergian, cara teraman untuk berpetualang, dan cara terbaik untuk memahami bahwa di luar sana, ada jutaan cerita yang jauh lebih besar dari cerita kita sendiri. Dan terkadang, itu adalah satu-satunya hal yang kita butuhkan untuk menghadapi dunia nyata lagi besok pagi.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *