Pernahkah Anda melihat seorang teman, anggota keluarga, atau mungkin makhluk aneh di pojok kafe yang sedang menatap layar laptop dengan tatapan kosong, sesekali mengetik dengan kecepatan kesetanan, lalu menghapus semuanya sambil menghela napas panjang seolah baru saja kalah tender pembangunan ibu kota? Selamat, Anda baru saja menyaksikan spesimen langka di habitat aslinya: seorang penulis.
Bagi kaum awam yang waras dan memiliki hobi normal seperti memancing atau menonton video kucing di internet, kegiatan menulis sering kali tampak seperti sebuah bentuk penyiksaan diri yang dilegalkan. Mengapa ada orang yang secara sukarela mengurung diri, berjam-jam memelototi halaman kosong yang seputih masa depan anak kos di tanggal tua, hanya untuk menyusun kata-kata? Bukankah lebih mudah untuk bicara saja? Pertanyaan ini sama validnya dengan bertanya mengapa ada orang yang suka makan durian. Jawabannya rumit, beraroma kuat, dan bagi sebagian orang, sangat memuaskan.
Sebagai perwakilan tidak resmi dari kaum aneh ini, izinkan saya membedah alasan-alasan di balik kegiatan misterius ini.
1. Karena Kepala Sudah Penuh Sesak Seperti KRL di Jam Pulang Kerja
Bayangkan kepala seorang penulis bukan sebagai organ berisi otak, melainkan sebuah rumah kos super padat. Di dalamnya, para penghuni—yaitu ide, dialog acak, karakter fiktif, dan pertanyaan filosofis selevel “kenapa cicak bisa nempel di dinding tapi cicilan tidak?”—berteriak-teriak secara bersamaan. Ada ide plot twist sinetron yang baru muncul pas lagi mandi, ada karakter sampingan yang tiba-tiba menuntut porsi cerita lebih banyak, dan ada satu kalimat puitis yang kalau tidak segera ditulis akan hilang ditelan notifikasi pinjaman online.
Kondisi ini, jika dibiarkan, bisa menyebabkan error 404: brain not found. Menulis, dalam konteks ini, bukanlah sebuah proses penciptaan. Ia adalah proses evakuasi massal. Kami tidak sedang membuat sesuatu dari ketiadaan; kami sedang mengosongkan isi kepala kami yang sudah terlalu penuh agar tidak meledak. Setiap kata yang diketik adalah satu penghuni kos yang berhasil diusir. Setiap paragraf yang selesai adalah satu kamar yang akhirnya kosong dan bisa disewakan lagi untuk ide baru yang (semoga) tidak lebih berisok. Jadi, jika Anda melihat seorang penulis, jangan kasihan. Dia bukan sedang bekerja keras, dia sedang melakukan terapi kebersihan mental.
2. Mesin Waktu untuk Balas Dendam yang Elegan
Kita semua pernah mengalaminya. Terjebak dalam perdebatan sengit, entah dengan rekan kerja, keluarga, atau dengan mas-mas kasir minimarket soal uang kembalian. Saat itu, otak kita membeku. Argumen terbaik yang bisa kita keluarkan hanyalah “ya pokoknya gitu!”. Lalu, tiga jam kemudian, saat sedang menyikat gigi, tiba-tiba muncul di kepala: kalimat balasan yang begitu cerdas, tajam, dan elegan, yang jika diucapkan saat itu juga pasti akan membuat lawan bicara kita terdiam dan penonton bertepuk tangan.
Sayangnya, momen itu sudah lewat. Namun, bagi seorang penulis, momen itu tidak pernah benar-benar hilang.
Menulis adalah satu-satunya cara legal untuk memiliki mesin waktu. Kami bisa kembali ke momen perdebatan itu, menciptakan sebuah skenario fiksi di mana karakter utama (yang tentu saja bukan kami, tapi mirip sekali) menghadapi situasi yang sama. Bedanya, kali ini si karakter utama dilengkapi dengan naskah. Ia akan melontarkan kalimat balasan super brilian yang sudah kita siapkan selama tiga jam di kamar mandi. Boom! Kemenangan yang tertunda. Ini adalah bentuk balas dendam paling pasif-agresif sekaligus paling memuaskan di dunia. Kami memenangkan argumen melawan orang yang bahkan tidak tahu bahwa kami masih memperdebatkannya.
3. Berdebat dengan Orang Khayalan dan (Hampir) Selalu Menang
Selain memenangkan argumen di masa lalu, menulis fiksi pada dasarnya adalah menciptakan sekelompok orang khayalan di dalam kepala, lalu mengatur hidup mereka sesuka hati. Ini adalah level tertinggi dari sindrom “Tuhan”. Penulis bisa menciptakan seorang pahlawan gagah berani, lalu membuatnya terpeleset kulit pisang di adegan paling krusial. Penulis bisa membuat karakter antagonis yang kejam, lalu memberinya alergi terhadap bulu kucing. Semuanya ada dalam kendali kami.
Aktivitas ini, jika dijelaskan kepada psikolog, mungkin akan menghasilkan beberapa diagnosis. Tapi bagi kami, ini adalah sebuah taman bermain. Tentu, kadang para karakter khayalan ini mulai “bertingkah”. Mereka menolak mengikuti alur cerita yang sudah disiapkan, atau tiba-tiba mengucapkan dialog yang tidak pernah kita rencanakan. Di titik inilah seorang penulis akan terlihat seperti orang gila, berdebat sendirian dengan laptopnya. “Kenapa kamu tidak mau pergi ke gua itu, hah?! Naskahnya bilang begitu!” Ini normal. Ini hanya berarti para penghuni kos di kepala kami sudah mulai nyaman dan berani melawan pemiliknya. Tapi pada akhirnya, siapa yang memegang tombol delete? Tentu saja kami.
4. Karena Cicilan, Tagihan, dan Kopi Tidak Bisa Dibayar dengan “Passion”
Mari kita tinggalkan dunia idealisme sejenak dan masuk ke dunia nyata yang kejam. Sebagian penulis menulis karena… yah, ini pekerjaan mereka. Di balik citra romantis seorang seniman yang menunggu inspirasi sambil menatap senja, ada kenyataan pahit: “Brief dari klien minta artikel 1000 kata tentang keunggulan panci anti lengket, deadline jam 5 sore.”
Dalam mode ini, menulis berubah dari seni menjadi pertukangan. Kami adalah tukang ledeng kata-kata. Ada masalah (butuh konten), kami datang dengan peralatan kami (keyboard dan kamus sinonim), lalu kami memperbaikinya dengan imbalan tertentu. Inspirasi? Ilham? Itu semua kemewahan. Inspirasi terbesar seorang penulis profesional sering kali adalah notifikasi jatuh tempo dari aplikasi e-commerce. Tidak ada yang bisa memacu kecepatan mengetik lebih dahsyat daripada ancaman internet diputus atau kehabisan kuota untuk nonton serial.
Kesimpulan: Jadi, Kenapa Menulis?
Pada akhirnya, menjawab “mengapa menulis?” itu seperti menjelaskan sebuah lelucon. Jika harus dijelaskan, mungkin memang tidak selucu itu. Menulis adalah campuran aneh antara terapi, kegilaan, pelarian, balas dendam, pekerjaan, dan upaya putus asa untuk meninggalkan jejak di dunia. Sebuah teriakan kecil ke alam semesta yang berkata, “Aku pernah di sini, dan beginilah caraku melihat dunia yang kacau ini.”
Jadi, lain kali Anda melihat seorang penulis sedang melamun, jangan diganggu. Bisa jadi dia sedang mengevakuasi isi kepalanya, sedang memenangkan argumen yang terjadi tiga tahun lalu, atau sedang bernegosiasi dengan karakter bajak laut khayalannya agar mau mandi. Atau, yang paling mungkin, dia hanya sedang panik memikirkan bagaimana cara mengubah deskripsi panci anti lengket menjadi sebuah karya sastra yang menggugah jiwa sebelum deadline tiba. Ini adalah dunia kami, aneh tapi nyata.
Leave a Reply